Keluar dari Diri Sendiri dan Tetap Terhubung

Keluar dari diri sendiri? Maksudnya apa? Apakah mungkin?

Keluar dari diri sendiri merupakan salah satu cara yang cukup ampuh untuk menghadapi diri kita yang sedang tidak terkendali. Mengapa kita harus keluar dari kita sendiri? Agar kita bisa menjadi lebih objektif dan bijak dalam merespon sesuatu hal. Kita akan bisa menjadi wasit untuk diri kita sendiri ketika kita berhasil keluar dari diri kita.

Ambil saja contoh ketika mendapat nilai jelek pada beberapa mata pelajaran di kampus dan menyebabkan kita terancam DO, mengulang tahun depan dan akibat-akibat buruk lainnya. Bagi kita yang aware dengan nilai, hal ini tentunya suatu masaah yang cukup serius. Akan terbayang lulus terlambat, mengulang Bersama adik tingkat, tidak bisa mengambil matkul pilihan yang disukai dan sebagainya.

Karena nilai sudah keluar dan kita tidak bisa merubahnya, maka tidak sedikit dari kita akan menyalahkan para dosen kita. Bapak dosen tidak pernah mengajar dengan baik sehingga kita tidak tertarik dengan peajaran yang dibawakannya dan berakibat malas untuk mempelajarinya. Selain mengajar yang kurang baik, soal yang diujikan sangat jauh lebih sulit dari apa yang sudah diajarkan. Bahkan ada dosen yang memberikan nilai secara acak dan random tanpa melihat usaha kita.

Apakah hal-hal di atas fakta atau hanya prasangka-prasangka kita saja dengan teman-teman lainnya? Sudahkah ada bukti konkretnya? Jika belum maka hal-hal tersebut masih menjadi opini-opini tak berdasar. Padahal dalam pandangan objektif manakah yang harusnya lebih kita percayai? Fakta atau opini? Oleh karena itu pentingnya untuk keluar dari diri sendiri dan melihat kembali kondisi kita sendiri.

Ketika kita keluar dari diri kita sendiri itu berarti kita melepas segala emosi, kekecewaan, merasa menjadi korban dan perasaan-perasaan negative lainnya tertinggal pada diri kita sendiri yang mana sedang berada di hadapan kita. Secara jujur dan terbuka kita mencoba melihat kondisi diri kita. Baik kondisi fisik, mental, dan psikis. Apakah kita sudah objektif dalam melihat sesuatu? Atau kita terlalu subjektif dan menggunakan perasaan yang berlebihan?

Dengan cara ini kita akan menjadi lebih objektif dan sadar ternyata bagus tidaknya nilai kita adalah kita sendiri yang menentukan. Mungkin benar dosennya tidak cakap dalam menyampaikan pelkajaran, tapi sebagai mahasiswa yang niat berkuliah akan mengalokasikan waktunya untuk menambah jam belajar agar tetap memahami materi meski pengajaran dosen yang kurang optimal. Mungkin benar soal yang diujikan jauh lebih sulit dari soal-soal latihan, tapi bukankah ujian itu untuk menguji kemampuan kita? Bahkan di luar sana permasalahan akan jauh lebih kompleks dan tidaka akan sama dengan toy problem yang ada di buku-buku teks.

Contoh yang lebih sederhana adalah kadang ketika kita melihat teman kita mendapat masalah maka kita akan punya seabrek solusi yang terpikirkan. Namun, ketika kita sedang memiliki masalah dan merasa buntuk, tiba-tiba teman kita mengusulkan solusi yang cukup sederhana namun tidak pernah terpikirkan oleh kita. Hal ini karena ketika kita sedang tertimpa masalah, kita kurang bisa lepas dari subjektifitas, prasangka dan perasaan menjadi korban atas takdir. Oleh karena itu kita perlu berlatih terus menerus agar terbiasa keluar dari diri kita namun tetap terhubung. Semoga bermanfaat~

Posting Komentar

Start typing and press Enter to search